Kisah ini sudah pernah ditampilkan pada berbagai situs website, tapi
karena ceritanya sungguh menarik, sayang jika tidak di-share ke lebih
banyak orang. Semoga menggugah hati banyak orang. (Demi kenyamanan
membaca, tulisan yang aslinya sangat panjang ini kami persingkat dengan
tak mengurangi maknanya).
Suatu pagi di pertengahan tahun 1960-an pada pukul setengah enam
pagi, polisi muda Royadin yang berpangkat brigadir polisi, sudah berdiri
dengan gagah di tepi posnya di kawasan Soko. Dari arah yang berlawanan
dengan arus kendaraan lainnya, tampak sebuah sedan hitam berplat AB.
Brigadir Royadin memandang di kejauhan, sementara sedan hitam itu melaju
perlahan menuju ke arahnya. Dengan sigap, ia menyeberang jalan di tepi
posnya. Tangannya diayunkan ke depan untuk menghentikan laju sedan hitam
itu. Sedan tahun 50-an itu berhenti di hadapannya. Saat mobil menepi, Brigadir Royadin menghampiri sisi kanan pengemudi
dan memberi hormat. “Selamat pagi! Boleh ditunjukkan rebuwes!” Pada masa
itu, surat mobil masih diistilahkan rebuwes.
Perlahan, pria di dalam sedan menurunkan kaca samping secara penuh.
“Ada apa, pak polisi?” tanya pria itu. Brigadir Royadin tersentak kaget.
Ia mengenali siapa pria itu. “Ya Allah… Sinuwun!” kejutnya dalam hati.
Gugup bukan main, tapi itu hanya berlangsung sedetik. Naluri polisinya
tetap menopang tubuh gagahnya dalam sikap sempurna. “Bapak melanggar
verboden, tidak boleh lewat sini, ini satu arah!” Ia memandangi pria itu
yang tak lain adalah Sultan Yogya, Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Setelah melihat rebuwes, Brigadir Royadin mempersilakan Sri Sultan untuk
mengecek tanda larangan verboden di ujung jalan, namun Sri Sultan
menolak.
“Ya… saya salah. Kamu benar, saya pasti salah!” Sinuwun turun dari
sedannya dan menghampiri Brigadir Royadin yang tetap menggenggam rebuwes
tanpa tahu harus berbuat apa. “Jadi…?” Sinuwun bertanya. Pertanyaan
singkat, namun sulit bagi Brigadir Royadin untuk menjawabnya.
“Em… emm… Bapak saya tilang, mohon maaf!” Brigadir Royadin heran,
Sinuwun tak juga memakai kekuasaannya untuk paling tidak bernegosiasi
dengannya. Jangankan begitu, mengenalkan dirinya sebagai pejabat negara
dan raja pun, beliau tidak melakukannya.
“Baik… Brigadir, kamu buatkan surat itu, nanti saya ikuti aturannya.
Saya harus segera ke Tegal!” Sinuwun meminta Brigadir Royadin untuk
segera membuatkan surat tilang.
Dengan tangan bergetar, Brigadir Royadin membuatkan surat tilang.
Ingin rasanya tidak memberikan surat itu, tapi tidak tahu kenapa ia
sebagai polisi tak boleh membeda-bedakan pelanggar kesalahan yang
terjadi di depan hidungnya. Yang membuatnya sedikit tenang adalah tak
sepatah kata pun keluar dari mulut Sinuwun yang menyebutkan bahwa dia
berhak mendapat dispensasi. “Sungguh orang besar…!” begitu gumamnya.
Surat tilang pun berpindah tangan. Brigadir Royadin menghormat pada
Sinuwun sebelum Sinuwun kembali memacu sedan hitamnya menuju ke arah
barat, Tegal. Setelah Sinuwun pergi, Brigadir Royadin menyadari
kebodohan dan kekakuannya. Tapi, nasi sudah menjadi bubur dan ketetapan
hatinya untuk tetap menegakkan peraturan pada siapa pun berhasil
menghibur dirinya.
______
Esok paginya saat apel, suara amarah meledak di markas polisi
Pekalongan. Nama Royadin diteriakkan dari ruang komisaris. Brigadir
Royadin diminta menghadap komisaris polisi selaku kepala kantor.
“Royadin, apa yang kamu lakukan…. Sa’enake dewe. Ora mikir… Iki sing
mbok tangkep sopo heh… ngawur… ngawur!” Komisaris mengumpat dalam bahasa
Jawa. Di tangannya, rebuwes milik Sinuwun berpindah bolak-balik dari
telapak kanan ke kiri. “Sekarang aku mau tanya, kenapa kamu tidak lepas
saja Sinuwun. Biarkan lewat, wong kamu tahu siapa dia. Ngerti nggak kowe
sopo sinuwun?”
“Siap Pak, beliau tidak bilang beliau itu siapa. Beliau ngaku salah… dan memang salah!” Brigadir Royadin menjawab tegas.
“Ya, tapi kan kamu mestinya ngerti siapa dia. Ojo kaku kaku, kok
malah mbok tilang… Ngawur… jan ngawur…. Ini bisa panjang, bisa sampai
Menteri!” Saat itu kepala polisi dijabat oleh Menteri Kepolisian Negara.
Brigadir Royadin pasrah, apa pun yang dia lakukan dasarnya adalah
posisinya sebagai polisi, yang disumpah untuk menegakkan peraturan pada
siapa saja. Usai mendapat marah, Brigadir Royadin bertugas seperti
biasa.
______
Suatu sore saat bertugas, Royadin diminta menghadap komisaris di
kantor. Setibanya di kantor, komisaris berkata, “Royadin…. Minggu depan
kamu diminta pindah!” Mendengar berita itu, tubuh Royadin menjadi lemas.
Ia membayangkan harus menempuh jalan menanjak di pinggir kota
Pekalongan setiap hari, karena mutasi ini, karena ketegasan sikapnya di
persimpangan Soko.
“Siap, Pak !” Royadin menjawab datar.
“Bersama keluargamu semua, dibawa!” Pernyataan komisaris mengejutkan,
untuk apa bawa keluarga ke tepi Pekalongan selatan, ini hanya
merepotkan diri saja.
“Saya sanggup setiap hari pakai sepeda pak komandan, semua keluarga biar tetap di rumah sekarang!” Brigadir Royadin menawar.
“Ngawur… Kamu sanggup bersepeda Pekalongan-Yogya? Pindahmu itu ke
Yogya bukan di sini. Sinuwun yang minta kamu pindah tugas ke sana.
Pangkatmu mau dinaikkan satu tingkat!” cetus pak komisaris. Disodorkan
surat yang ada digenggamannya kepada Brigadir Royadin.
Surat itu ditulis tangan yang inti isinya: “Mohon dipindahkan
Brigadir Royadin ke Yogya, sebagai polisi yang tegas saya selaku
pemimpin Yogyakarta akan menempatkannya di wilayah Yogyakarta bersama
keluarganya dengan meminta kepolisian untuk menaikkan pangkatnya satu
tingkat.” Surat itu ditandatangani Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Tangan Brigadir Royadin bergetar, namun ia segera menemukan
jawabannya. Ia tak sanggup menolak permintaan orang besar seperti Sultan
HB IX, namun ia juga harus mempertimbangkan seluruh hidupnya di kota
Pekalongan. Ia cinta Pekalongan dan tak ingin meninggalkan kota ini.
“Mohon Bapak sampaikan ke Sinuwun, saya berterima kasih, tapi saya
tidak bisa pindah dari Pekalongan. Ini tanah kelahiran saya, rumah saya.
Sampaikan hormat saya pada beliau, dan sampaikan permintaan maaf saya
pada beliau atas kelancangan saya!” Brigadir Royadin bergetar, ia tak
memahami betapa luasnya hati Sinuwun Sultan HB IX. Amarah hanya
diperolehnya dari sang komisaris, namun penghargaan tinggi justru datang
dari orang yang menjadi korban ketegasannya. Luar biasa!
Sumber : m.AndrieWongso.com
Tweet